|
Alga merupakan tumbuhan
thallus yang tidak mempunyai akar, batang, daun, dan bunga. Struktur
perkembangbiakannya hampir selalu bersel tunggal, jika ada yang bersel banyak
setiap komponen sel membentuk satuan reproduksi baik sebagai zoospora maupun
gamet. Alat reproduksi tidak memiliki lapisan luar yang terdiri atas sel-sel
steril. Alga tidak pernah menghasilkan embrio, yaitu zigotnya tidak pernah
berkembang menjadi tumbuhan muda yang bersel banyak ketika masih terbungkus
oleh alat kelamin betina (Dewi, 2006).
Morfologi
Menurut Luning (1990)
dalam Jelantik (2003), alga makroskopis memiliki ciri-ciri umum sebagai
berikut:
1.
Tubuhnya tersusun dari banyak sel
2.
Struktur tubuhnya berupa thallus yaitu
suatu struktur yang belum dapat dibedakan dengan jelas antara akar, batang, dan
daun.
3.
Di dalam sel-sel tubuhnya terdapat
pigmen penyerap cahaya yang berupa kloroplas atau kromatofor
4.
Bersifat autotrof yang dapat menghasilkan
zat organik dan oksigen melalui proses fotosintesis
5.
12
|
Struktur anatomi
thallus untuk tiap jenis alga makroskopis berbeda-beda. Ada thallus yang
memiliki percabangan dan ada pula yang tidak. Percabangan thallus ada yang dichotomus (bercabang dua terus
menerus), pectinate (berderet searah
pada satu sisi thallus utama), pinnate (bercabang
dua-dua pada sepanjang thallus utama secara berselang-seling), dan verticillate (cabangnya berpusat
melingkari aksis atau sumbu utama). Menurut Aslan (1998) dalam Widayanti
(2008), sifat substansi thallus juga beraneka ragam, ada yang lunak seperti
gelatin (gellatinous), mengandung zat
kapur (calcareous), lunak seperti
tulang rawan (cartilaginous), dan
berserabut (spongious). Gambar
berikut menyajikan berbagai bentuk thallus dan tipe percabangannya.
a. Ulva
|
c. Vaucheria sp
|
|
b. Codium sp
|
|
|
|
|
Gambar
2.1 Bentuk thallus pada alga: a) Bentuk pipih pada Ulva, b) Bentuk silinder pada Codium
sp, dan c) Bentuk tabung pada Vaucheria
(Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Gambar 2.2
Berbagai bentuk percabangan thallus pada alga 1) Tidak bercabang, 2) Dichotomus,
3) Pinnate alternate, 4) Pinnate distichous, 5) Tetratichous, 6) Verticillate,
7) Polystichous, 8) Pectinate, 9) Monopodial, 10) Sympodial (Aslan, 1998)
Sebagian besar alga
mempunyai dinding sel yang jelas, tetapi beberapa marga dan sel-sel reproduktif
tertentu tidak mempunyai dinding sel. Materi penyusun dinding sel alga adalah:
selulosa, xilan, manan, polisakarida yang mengandung sulfat asam alginate,
protein, silikon, dioksida, dan CaCO3. Dinding sel alga tidak
dibentuk oleh satu senyawa, tetapi merupakan matriks dari satu materi yang
bergantian dengan materi yang lainnya atau terbentuk dari lapisan-lapisan
berbagai materi yang berbeda. Semua golongan alga mengandung klorofil dan
beberapa karotenoid. Dalam pigmen karotenoid termasuk karoten dan xantofil. Di
samping pigmen tersebut di atas yang larut dalam pelarut organik, ada pula
pigmen yang larut dalam air, yaitu fikobiliprotein, atau fikobilin. Pigmen ini
terdapat dalam alga biru dan alga merah.
Walaupun alga tidak
memiliki organ batang, akar, daun, dan bunga, namun bentuknya berkisar dari
tumbuhan yang bersel tunggal (mikroskopik) sampai yang bersel banyak
(makroskopik) yang sangat kompleks yang panjangnya mencapai 70 meter. Karena
demikian besarnya kisaran bentuk alga, maka Gupta (1981) dalam Dewi (2006) membedakan
bentuk alga sebagai berikut
1.
Bersel tunggal
a.
Bersel tunggal yang dapat bergerak
Contohnya: Chlamidomonas
b.
Bersel tunggal yang tidak dapat bergerak
Contohnya: Chlorella, Synecoccus
2.
Thallus bersel banyak
Dibagi menjadi 5 bentuk sebagai
berikut:
a.
Koloni
-
Koloni yang dapat bergerak, contohnya Volvox, Pandorina
-
Koloni yang kokoid yang tidak dapat
bergerak, contohnya Hydrodiction,
Pediastrum
b.
Agregat
Contohnya Palmella, Gloeocapsa
c.
Filament
-
Filamen yang bercabang, contohnya Ulothrix, Spirogyra
-
Filamen yang bercabang, contohnya Cladophora
-
Filamen yang heterotrikos, contohnya Chaelophora, Ectocarpus, Stigeoelonium
-
Parenkim semu, contohnya Nemaliun
d.
Sipon
Contohnya Briopsis, Vancheria
e.
Thallus Parenkim
Contohnya Ulva, Porphyra, Panctaria
Keragaman alga makroskopis
relatif rendah dengan jumlah spesies sekitar 8.000 spesies. Walaupun alga makroskopis
diketahui menyebar secara luas mulai dari perairan kutub sampai pada perairan
tropis baik di belahan bumi utara maupun di belahan bumi selatan, namun
masing-masing spesies alga makroskopis memiliki daerah sebaran tertentu pada
laut-laut di seluruh dunia (Luning, 1990).
Habitat
Alga
Tempat hidup alga
umumnya di air, baik air tawar, laut maupun air payau. Tumbuhan alga juga
ditemukan di daerah bersalju, bersimbiosis dengan organisme lain seperti lumut,
paku atau fungi (membentuk lichens yang mampu hidup di atas batu yang gersang
dan kering), dan pada sumber air panas. Alga dapat tumbuh hampir di semua
tempat yang cukup basah dan cukup cahaya untuk berfotosintesis. Salah satu
habitat yang paling ekstrim adalah alga yang dapat hidup pada jaringan tubuh
hewan seperti pada beberapa jenis mentimun laut, binatang-binatang karang yang
mengadakan simbiosis yang saling menguntungkan. Beberapa jenis alga memiliki “holdfast” sehingga dapat melekat pada
substrat, tetapi ada juga melayang bebas dalam air bersama makhluk lain
membentuk plankton. Alga sangat penting sebagai produsen yang menyediakan
makanan bagi sebagian besar hewan air (Loveless, 1989 dalam Dewi 2006).
Faktor-Faktor
Ekologis Penentu Kehidupan Alga
Kehidupan biota laut,
baik tumbuh-tumbuhan, hewan maupun mikroba, dimana pun ia terdapat selalu
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Adapun beberapa faktor ekologis yang
mempengaruhi kehidupan alga seperti keadaan substrat dasar perairan, cahaya,
suhu, salinitas, kekeringan, nutrien dan gerakan air. Tiap spesies alga
memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap faktor-faktor ekologis tersebut.
Faktor-faktor tersebut dapat berpengaruh bersama-sama dan sederajat, atau satu
faktor lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor yang lain. Seperti pada muara
sungai, faktor salinitas lebih menonjol pengaruhnya daripada faktor-faktor lain
dalam kaitannya dengan sebaran biota dari sungai ke laut dan sebaliknya.
1.
Substrat
Semua makhluk hidup
memerlukan tempat tumbuh untuk menunjang kehidupannya. Secara ekologis, alga
merupakan phytobenthos berukuran makro yang memerlukan substrat sebagai tempat
melekatnya. Substrat yang dapat digunakan sebagai tempat melekat adalah pasir,
batuan karang, coral mati, tanaman lain, dan mungkin benda-benda padat yang
kebetulan tenggelam di dalam laut. Alga melekatkan dirinya pada substrat dengan
perantaraan organnya yang disebut dengan holdfast.
Berbeda dengan tumbuhan darat, alga tidak memerlukan struktur jaringan untuk
menyokong tegaknya tubuh dalam air. Hal ini dimungkinkan karena air telah
menyediakan daya apung yang membuat bagian-bagian tubuh alga dapat terangkat ke
atas di dalam kolom air. Disamping itu, pada spesies alga tertentu ditemukan
struktur organ menyerupai bola-bola kecil yang dapat menyerap udara dan
berperan sebagai pelampung, sehingga bagian-bagian tubuh alga tersebut dapat
terangkat ke atas untuk memaksimalkan penyerapan cahaya (Sze, 1993, Bold dan
Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Dasar perairan biasanya
terkait dengan tingkat kecerahan perairan. Perairan dengan dasar karang atau
karang mati biasanya memiliki kejernihan air yang relatif baik. Hal ini cukup
penting bagi berlangsungnya fotosintesis alga. Dasar perairan yang keras, kokoh
dan kuat yang tidak dapat dipindahkan oleh gelombang atau pengaruh lain,
seperti batu-batuan dan batu karang merupakan substrat yang baik bagi kehidupan
alga yang merupakan bagian terbesar dari vegetasi laut. Dasar perairan yang
lemah dan gembur kurang baik bagi kehidupan alga, tetapi banyak dihuni oleh
alga yang berukuran kecil. Dasar perairan yang berlumpur menyebabkan penetrasi
cahaya rendah dan menempelnya lumpur pada alga. Keadaan ini menyebabkan
efektivitas pemanfaatan cahaya menurun sehingga alga tidak dapat bertumbuh dan
menyebabkan kematian dalam jangka waktu lama (Ambas, 2006).
2.
Cahaya
Cahaya matahari sebagai
sumber energi sangat berpengaruh terhadap alga karena cahaya sangat diperlukan
untuk melangsungkan proses fotosintesis dan berperan sebagai sinyal lingkungan
yang dapat merangsang proses pertumbuhan dan perkembangan pada alga (Luning,
1990 dalam Jelantik, 2003). Cahaya merupakan faktor yang dominan dalam
menentukan distribusi vegetasi tumbuhan akuatik.
Transparansi air laut
lebih besar dibandingkan air tawar, sehingga cahaya lebih dalam menembus air
laut dibandingkan air tawar. Kegiatan fotosintesis air laut dapat berlangsung
sampai kedalaman yang cukup besar yaitu sampai kedalaman 200 m. Alga hanya
mungkin tumbuh di perairan dengan kedalaman tertentu dimana sinar matahari
sampai ke dasar perairan.
Mutu dan kualitas
cahaya berpengaruh terhadap produksi spora dan pertumbuhannya. Cahaya memiliki
spektrum warna yang berbeda sesuai
dengan panjang gelombang. Air laut dapat mengurangi intensitas cahaya,
serta dapat menyerap warna yang berbeda dengan panjang gelombang lebih pendek
seperti warna biru, hijau, dan kuning tidak begitu banyak diserap seperti
halnya warna merah. Pembentukkan spora dan pembelahan sel dapat dirangsang oleh
cahaya merah berintensitas tinggi. Menurut Nybakken (1992), alga intertidal
memerlukan cahaya dengan panjang gelombang terpanjang (merah) yang diserap oleh
air dengan cepat, dan cenderung banyak ditemukan di daerah intertidal yang
lebih tinggi, sehingga ketika alga tenggelam (ketika benar-benar
berfotosintesis), alga tersebut tidak boleh berada di tempat yang terlalu dalam
di bawah penetrasi cahaya merah (kira-kira 2 m).
Intensitas maupun
panjang gelombang berpengaruh pada pengendalian penyebaran alga. Karena alga intertidal
utama dibagi ke dalam 3 kelompok: merah, cokelat, dan hijau, dan ketiganya
menyerap spektrum cahaya yang berbeda, maka dapat dikatakan bahwa alga-alga
tersebut akan tersusun di sepanjang gradien kedalaman. Pada satu gradien, alga
hijau berada di tempat teratas karena menyerap sinar merah, alga cokelat di
tengah, dan terakhir alga merah yang menyerap cahaya hijau terdapat di daerah
yang terdalam (Nybakken, 1992). Menurut Aslan (1998) dalam Widayanti (2008)
kebutuhan cahaya pada alga merah agak rendah dibandingkan alga coklat. Hal ini
disebabkan oleh alga merah memiliki pigmen xantofil, karoten, dan fikobiliprotein yang mampu menyerap
energi cahaya gelombang pendek dan ditransfer ke klorofil a. Alga yang berwarna
hijau akan tumbuh subur di dekat permukaan dengan intensitas cahaya yang tinggi
dengan cahaya merah yang melimpah, sedangkan alga merah dapat hidup pada
perairan yang lebih dalam dengan kondisi intensitas cahaya yang lebih rendah
yang mampu menggunakan cahaya dengan panjang gelombang yang lebih pendek untuk
melakukan fotosintesis.
3.
Suhu
Secara prinsip suhu
yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak
enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu
yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakkan sebagai
akibat terbentuknya kristal es dalam sel. Terkait dengan itu, maka suhu sangat
mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan alga seperti
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan
respirasi (Luning, 1990).
Berbeda dengan yang di
daratan, variasi suhu di air tidak begitu besar. Suhu air di permukaan jarang
sampai melebihi 300 C yang tidak pernah berada di bawah titik beku
-3,60 C. di laut yang agak dalam suhu agak rendah dan seragam.
Dengan amplitudo suhu yang relatif kecil, alga dapat melakukan kegiatan
sepanjang musim. Pada musim panas melakukan kegiatan vegetatif sedangkan pada
musim dingin mengadakan reproduksi.
Dalam hal kelangsungan
hidup, maka alga-alga yang bersifat eurythermal dapat bertahan hidup pada
perairan yang suhunya sangat berfluktuasi, sedangkan alga-alga yang bersifat
stenothermal tidak dapat hidup pada lingkungan yang demikian. Alga-alga yang
bersifat eurythermal dapat menyebar secara luas dan cenderung generalis,
sedangkan alga-alga yang stenothermal memiliki wilayah sebaran yang sempit dan
cenderung bersifat spesialis dalam batas kaitannya dengan batas toleransi
terhadap suhu (Luning, 1990).
Dalam kaitannya dengan
pertumbuhan, maka suhu optimal bagi pertumbuhan alga berbeda-beda tergantung
jenis alga dan lintang tempat dimana alga itu berada. Sebagai contohnya, jenis
alga yang berada di daerah kutub dapat tumbuh dengan baik pada suhu 0-100
C, sedangkan jenis alga yang hidup di daerah iklim sedang yang agak dingin
dapat hidup dapat tumbuh dengan baik pada suhu 10-150 C. Jenis alga
yang hidup di daerah iklim sedang yang agak hangat dapat tumbuh dengan baik
pada suhu 10-200 C, sedangkan jenis alga yang hidup di daerah tropis
dapat tumbuh dengan baik pada suhu 15-300 C (Luning, 1990).
Dalam kaitannya dengan
pembiakkan, maka suhu sangat mempengaruhi pembentukkan gamet dan spora. Suhu
yang tinggi dapat menghambat pembentukkan gametangia ordo alga tertentu yang
hidup di daerah iklim sedang yang hangat (Luning, 1990).
4.
Salinitas
Menurut Kennish (2001),
salinitas didefinisikan sebagai berat dalam gram dari garam anorganik yang
terlarut di dalam 1 kilogram air laut sesudah semua bromin dan iodin digantikan
dengan jumlah yang sama oleh klorin, semua karbonat dikonversi menjadi oksida
dalam jumlah yang sama, dan semua bahan-bahan organik teroksidasi pada suhu 4800C.
Salinitas biasanya dinyatakan dalam satuan satu per seribu (0/00),
tetapi dapat juga dinyatakan dalam milligram per liter (mg/L), miliequivalent
per liter (meq/L), gram per kilogram (gr/kg), atau persen (0/0).
Salinitas di lautan
berkisar antara 33 sampai dengan 38 0/00 dengan rata-rata
35 0/00. Muara sungai memiliki lebih banyak variasi
salinitas dibandingkan laut. Keadaan ini
berubah secara temporer dalam tahunan, musiman, harian dan siklus tidal dan
secara ruang menurut garis longitudinal, bujur dan lintang. Percampuran antara
air sungai dan air laut, larutan berbeda secara signifikan ditinjau dari
komposisi sifat fisik dan kimianya sehingga berpengaruh terhadap variasi suhu
(Kennish, 2001).
Salinitas merupakan
salah satu parameter kualitas air yang cukup berpengaruh pada organisme dan
tumbuhan yang hidup di perairan. Salinitas perairan yang ideal bagi lahan
budidaya alga berkisar antara 28-34 permil, dimana salinitas optimumnya adalah
32 permil (Ambas, 2006). Agar dapat tumbuh dengan baik, tekanan osmosis di
dalam sel-sel alga harus sesuai dengan tekanan osmosis lingkungan perairan
tempat hidupnya. Mengingat salinitas berbanding lurus dengan tekanan osmosis,
maka tekanan osmosis sel-sel alga yang hidup di laut yang bersalinitas lebih
tinggi menjadi lebih tinggi dibanding tekanan osmosis alga yang hidup di laut
yang bersalinitas lebih rendah (Luning, 1990).
Kadar garam di samudra
bebas kurang lebih 3,5 %, tetapi pada tempat tertentu menyimpang dari angka
tersebut. Bila terjadi banyak penguapan maka kadar garam akan meningkat, tetapi
bila terjadi pengenceran oleh adanya air tawar maka kadar garam menurun.
Penurunan kadar garam tanpa disertai perubahan iklim menyebabkan perubahan
populasi alga hijau, alga perang maupun alga merah. Secara umum akan terjadi
penurunan pertumbuhan vegetasi, bahkan pada konsentrasi yang lebih rendah alga
perang dan merah menjadi kerdil.
Terkait dengan
pertumbuhan, maka salinitas yang ekstrim dapat menurunkan laju pertumbuhan alga
secara tajam. Tingkat penurunan laju pertumbuhan ini bergantung juga kepada
daya toleransi alga terhadap fluktuasi salinitas (Luning, 1990). Beberapa
daerah yang perlu dihindari sebagai lahan budidaya alga laut adalah muara
sungai. Daerah ini memiliki salinitas yang rendah dibandingkan dengan perairan
laut yang tidak mendapatkan suplai air tawar. Bahkan pada musim hujan, pasokan
air tawar yang masuk akan semakin banyak dan menurunkan nilai salinitas secara
drastis. Hal ini berdampak kurang baik terhadap pemeliharaan alga laut (Ambas,
2006).
5.
Kekeringan
Suatu alasan yang unik
menyatakan bahwa rendahnya keanekaragaman alga mungkin disebabkan karena hampir
semua alga tidak mengalami tekanan kekeringan. Tingginya keanekaragaman
tumbuhan darat adalah karena secara periodik mereka mengalami tekanan
kekeringan ( Luning, 1990)
Daya toleransi alga
terhadap kekeringan dapat dipengaruhi oleh morphologi dan bentuk pertumbuhan
dari alga itu. Semakin luas permukaan spesifik alga itu, semakin tidak tahan
alga itu terhadap kekeringan. Untuk mengurangi jumlah penguapan air, beberapa
jenis alga bertalus ramping dan memiliki bentuk pertumbuhan talus yang rapat
dan saling tumpang tindih dengan maksud agar luas permukaan spesifik yang bersentuhan
dengan udara dapat berkurang. Dengan demikian, penguapan air dapat dikurangi.
6.
Nutrien
Nutrisi merupakan
faktor ekologis yang penting bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup setiap
organisme. Tidak seperti tumbuhan pada umumnya yang zat haranya tersedia dalam
tanah, zat hara alga diperoleh dari air sekelilingnya. Bila diamati secara
seksama bagian yang menyerupai akar hanya berfungsi sebagai pelekat saja.
Penyerapan zat hara dilakukan melalui seluruh bagian tanaman (Indriani dkk,
1997). Phosphor dan nitrogen secara normal konsentrasinya rendah di dalam air
laut, sehingga sering menjadi faktor pembatas untuk pertumbuhan rumput laut.
Nitrogen diserap oleh alga dalam bentuk nitrat dan ammonium. Apabila kadar
nitrat dan phospat melimpah di perairan maka akan mempengaruhi stadia
reproduksi alga (Jelantik, 2003).
7.
Gerakan Air
Gerakan-gerakan air
laut disebabkan oleh beberapa faktor, seperti angin yang menghembus di atas
permukaan air laut. Pengadukkan yang terjadi karena perbedaan suhu air dari dua lapisan air, perbedaan tinggi
permukaan air laut, pasang surut, dan lain-lain. Gerakan air laut ini dikenal
sebagai arus, gelombang, gerakan massa air ke permukaan (upwelling). Gerakan
air laut penting bagi berbagai proses biologik dan nonbiologik dalam laut.
Gerakan air diperlukan
untuk mempercepat difusi gas dan ion-ion di dalam air. Dengan lancarnya difusi
gas dan ion-ion yang diperlukan oleh alga maka pertumbuhan alga akan menjadi
lebih cepat. Gerakan air juga berfungsi dalam membantu mensuplai zat hara dan
membersihkan kotoran yang menempel pada alga (Ambas, 2006). Di pihak lain
gerakan air yang berupa arus dan gelombang dapat menekan, melucuti,
membengkokkan dan memelintir thallus-thallus dari alga terutama yang memiliki
daun yang sempit yang hidup di perairan yang gelombangnya cukup besar. Gerakan
air juga dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan rumput laut. Sebagai contoh
adalah alga yang hidup pada perairan yang mengalir deras dapat tumbuh dengan
daun yang sempit dan pipih serta membentuk berkas stream line. Sementara itu, alga dari jenis yang sama yang hidup
pada perairan yang lebih tenang dapat tumbuh membentuk daun yang lebih besar
dan bergelombang (Jelantik, 2003).
Gerakan air juga
mempengaruhi gerakan dan sebaran spora alga yang kebanyakan bersifat planktonis.
Kekuatan gerakan air akan mempengaruhi melekatnya spora pada substratnya. Alga
yang tumbuh di perairan berombak dan berarus kuat akan memiliki karakteristik
spora yang berbeda dengan alga yang tumbuh di perairan tenang. Gerakan air
mengalir (arus) yang baik untuk pertumbuhan alga antara 20-40 cm/detik.
Sedangkan gerakan air yang bergelombang (ombak) harus tidak lebih dari 30 cm.
Bila arus air lebih cepat maupun ombak lebih tinggi, dapat menyebabkan alga
robek, rusak dan terlepas dari substrat. Selain itu, penyerapan zat hara akan
terhambat karena belum sempat diserap sudah dibawa kembali oleh air laut.
8.
Pasang Surut
Pasang
surut adalah peristiwa naik turunnya permukaan laut secara periodik suatu
interval tertentu. Pasang surut merupakan faktor lingkungan yang paling
mempengaruhi kehidupan zone intertidal (Nybakken, 1992). Adanya kisaran keadaan
lingkungan yang silih berganti secara periodik antara keadaan air (pada saat
pasang). Faktor-faktor fisik pada keadaan ekstrim organisme masih bisa menempati
perairan, akan menjadi faktor pembatas dan mematikan apabila air sebagai
isolasi dihilangkan. Kombinasi pasang surut dan waktu, dapat menimbulkan dua
akibat langsung yang nyata pada kehadiran dan organisasi komunitas intertidal
sebagai berikut:
a.
Perbedaan waktu yang relatif lama suatu
daerah tertentu di intertidal berada di udara terbuka dengan lamanya terendam
air. Lamanya terkena udara terbuka merupakan hal yang sangat penting, sebab
pada waktu itu organisme laut berada pada kisaran suhu terbesar dan kemungkinan
mengalami kekeringan (kehilangan air). Semakin lama kena udara, semakin besar
mengalami suhu letal (mati) atau kehilangan air di luar batas kemampuannya dan
semakin kecil kesempatannya untuk mencari makan sehingga menyebabkan organisme
kekurangan energi.
b.
Pengaruh pasang surut terjadi secara teratur
dan dapat diramalkan. Pasang surut cenderung menimbulkan irama tertentu dalam
kegiatan organisme pantai.
Pasang
surut adalah gerakan naik turunnya muka laut secara berirama yang disebabkan
oleh gaya tarik bulan dan matahari. Pengaruh matahari terlihat pada saat pasang
purnama dan pasang perbani. Pasang purnama dan pasang bulan mati adalah pasang
yang menunjukkan kisaran terbesar (baik naik maupun turun) dan terjadi bila
bulan dan matahari terletak sejajar sehingga kedua gayanya bergabung. Pasang
perbani adalah pasang dengan kisaran minimum dan terjadi bila matahari dan
bulan membentuk sudut siku-siku sehingga gayanya saling menetralkan. Pasang
surut ada 3 macam antara lain:
a.
Pasang surut diurnal artinya pasang
surut yang terjadi dari satu pasang naik dan satu pasang surut.
b.
Pasang surut semidiurnal artinya pasang
surut yang mempunyai dua pasang naik dan dua pasang surut.
c.
Pasang surut campuran artinya campuran
antara pasang surut diurnal dengan pasang surut semidiurnal.
Pada gambar 2.3,
disajikan mengenai posisi bulan dan matahari pada saat pasang-surut perbani dan
pasang-surut purnama.
(A)
(B)
Gambar 2.3 Posisi bulan dan matahari pada
saat pasang-surut perbani dan pasang-surut purnama
9. Terumbu Karang
Terumbu
karang adalah endapan-endapan massif yang terbuat dari kalsium karbonat (CaCo3)
yang terutama dihasilkan oleh binatang karang dari Phylum Cnidaria, Classis Anthozoa, Ordo
Madreporaria (Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari tumbuhan alga berkapur
seperti Halimeda sp dan
organism-organisme lain yang dapat menghasilkan senyawa kalsium karbonat
seperti tiram raksasa (kima) dari Tridacna
sp dan Hippopus sp.
Ekosistem
terumbu karang adalah ekosistem yang disusun oleh komponen utama berupa hewan
karang (Scleractinia) menghasilkan
terumbu dan komponen lain yang berupa berbagai biota yang berasosiasi seperti
alga berkapur Zooxanthella sp,
berbagai jenis Echinodermata, Crustacea,
Molluska, dan berbagai jenis ikan yang kesemuanya terjalin dalam hubungan
fungsional yang harmonis di tengah komponen biotik yang mempengaruhinya.
10. Organisme
Pemakan Alga
Alga merupakan tumbuhan
yang hidup di laut, dimana memiliki peranan yang penting bagi kehidupan hewan
laut dalam hal ini memiliki satu kesatuan dalam ekosistem laut.
Organisme-organisme pemakan alga diantaranya adalah hewan laut dari Classis Echinodea, yang hidup di atas batu
karang atau dalam lumpur pada pantai. Hewan ini bergerak dengan menggunakan
duri yang bersendi dan kaki ambulakral. Beberapa jenis yang hidup pada
sumur-sumuran di daerah pantai atau di bawah rumput laut dan ada juga yang
membenamkan diri dalam tanah liat di muka muara sungai atau di bawah
karang-karang yang lunak.
Reproduksi
Alga
Pada tanaman alga
dikenal tiga macam pola reproduksi yaitu:
1.
Reproduksi generatif (seksual) dengan
gamet
2.
Reproduksi vegetative (aseksual) dengan
spora
3.
Reproduksi fragmentasi dengan potongan
thallus (stek)
Pergiliran keturunan
antara seksual dengan aseksual merupakan pembiakan alami yang terjadi pada
tanaman rumput laut, sedangkan pembiakan secara stek biasanya banyak dilakukan
dalam usaha membudidayakan rumput laut.
1.
Reproduksi Seksual
Proses
reproduksi seksual pada alga makroskopis termasuk alga pada umumnya berlangsung
secara anisogami dan oogami yang mana keduanya lazim disebut heterogami. Pada
alga makroskopis termasuk rumput laut, gamet-gamet dihasilkan oleh organ khusus
gametangia yang terdiri atas dua macam yaitu spermatangia (antheridium) yang
menghasilkan sperma, dan oogonium yang menghasilkan sel telur (Bold dan Wynne,
1985 dalam Jelantik, 2003).
Sperma
dan sel telur masing-masing memiliki bentuk, ukuran, motilitas yang berbeda.
Sperma umumnya berukuran lebih kecil, berflagela dan dapat bergerak, sedangkan
sel telur berukuran lebih besar, tidak berflagela, dan tidak dapat bergerak.
Namun demikian, pada alga merah (Rhodophyta),
spermanya tidak berflagella dan dapat bergerak secara amuboid dan disebut
spermatia. Spermatia itu dihasilkan di dalam gametangia kecil yang disebut
spermatangia. Sementara itu, oogonium pada alga merah membentuk tonjolan yang
disebut trichogyne yang merupakan tempat untuk menerima gamet jantan (sperma).
Oogonium pada alga merah lazim disebut carpogonium (Bold dan Wynne, 1985 dalam
Jelantik, 2003).
Pembentukkan
gamet jantan (sperma) dan gamet betina (ovum) dalam suatu proses perkawinan,
memiliki dua pola yaitu; 1) monoecious yaitu
bilamana sperma dan ovum berasal dari satu individu ; 2) dioecious yaitu bilamana sperma dan ovum masing-masing berasal dari
individu yang berbeda. Alga-alga yang melakukan perkawinan secara monoecious
biasanya disebut alga homothallus, sedangkan alga-alga yang melakukan
perkawinan secara dioecious biasanya disebut alga heterothallus (Bold dan
Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003).
Alga
memiliki tiga pola siklus hidup secara seksual. Pada pola siklus hidup yang
pertama terdapat satu tipe individu yang hidup bebas yang bersifat haploid.
Dalam hal ini terjadi pembentukkan gamet pada alga yang telah matang.
Gamet-gamet ini kemudian akan menyatu membentuk zygote yang bersifat diploid
dan dapat mengalami dormansi. Bilamana saatnya tiba (kondisi baik), zigot ini
dapat berkecambah, dan pada saat ini intinya mengalami meiosis sehingga
menghasilkan zoospora, aplanospora atau juvenile yang mirip alga dewasa dan
bersifat haploid. Pola siklus hidup yang pertama ini disebut pola haplobiontik
dan dilambangkan dengan simbul H,h dan banyak terjadi pada alga hijau (Bold dan
Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003). Pada gambar 2.4 berikut disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi
seksual haplobiontik.
Gambar
2.4 Tipe daur hidup reproduksi seksual haplobiontik (Bold dan Wynne, 1979 dalam
Jelantik 2003).
Pada
pola hidup yang kedua, satu tipe individu alga yang hidup bebas bersifat
diploid. Pola siklus hidup seperti ini dilambangkan dengan H,d. Individu yang
bersifat diploid dapat memperbanyak dengan cara aseksual. Contoh alga yang
memiliki pola siklus hidup seperti ini adalah alga hijau yang berbentuk tabung,
dan alga batu (Fucales) dari divisi Phaeophyta (Bold dan Wynne, 1985 dalam
Jelantik, 2003). Berikut
disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi seksual haplobiontik diploid.
Gambar
2.5 Tipe daur hidup reproduksi seksual Haplobiontik diploid (Bold dan Wynne,
1979 dalam Jelantik 2003).
Pada
pola siklus hidup yang ketiga terdapat dua tipe individu yang hidup bebas yaitu
individu penghasil gamet (gametophyt) yang bersifat haploid dan individu
penghasil spora (sporophyt) yang bersifat diploid. Gamet-gamet yang dihasilkan
dapat menyatu membentuk zygote yang tidak mengalami masa dormansi. Zygote ini
kemudian tumbuh menjadi sporophyt yang bersifat diploid. Dalam hal ini meosis
terjadi pada saat pembentukkan spora (sporogenesis). Spora yang dihasilkan
bersifat haploid dan berkembang menjadi gametophyte. Baik sporophyt maupun
gametophyte masing-masing dapat memperbanyak dirinya dengan cara aseksual. Pola
siklus hidup seperti ini dikenal dengan diplobiontik yang dilambangkan dengan
simbul D, h+d, dan banyak terjadi pada alga merah (Rhodophyta). Siklus hidup diplobiontik ada dua macam yaitu
isomorphik dan heteromorphik. Dikatakan isomorphik bilamana gametophyt dan
sporophyt memiliki kesamaan bentuk, sedangkan heteromorphik bilamana gametophyt
dan sporophyt masing-masing bentuknya berbeda. Isomorphik dilambangkan dengan
simbul Di, h+d, sedangkan heteromorphik dilambangkan dengan Dh,
h+d (Bold dan Wynne, 1985 dalam Jelantik, 2003). Berikut disajikan gambar tipe daur hidup reproduksi
seksual diplobiontik.
Gambar
2.6 Tipe daur hidup reproduksi seksual
Diplobiontik (Bold
dan Wynne, 1979 dalam Jelantik, 2003).
2.
Reproduksi Aseksual
Pada
alga, reproduksi aseksual berupa pembentukkan suatu individu baru melalui
perkembangan spora, pembelahan sel, dan fragmentasi. Pembiakkan spora berupa
pembentukkan gametofit dari tetraspora yang dihasilkan dari tetrasporofit. Tipe
pembiakan ini umumnya terdapat pada alga merah. Pada alga yang bersel satu,
setiap individu mempunyai kemampuan untuk membelah diri dan membentuk individu
baru. Pada alga multiseluler seperti Enteromorpha,
Polysiphonia, Gracilaria, dan Eucheuma,
potongan thallusnya mempunyai kemampuan berkembang meneruskan pertumbuhan
(Aslan, 1998 dalam Widayanti, 2008).
3.
Reproduksi fragmentasi dengan potongan
thallus (stek)
Dalam
usaha budidaya rumput laut, misalnya marga Eucheuma,
Gracilaria, umumnya dilakukan dengan penyetekan sebagai bibit untuk
dikembangbiakan secara produktif. Dalam hal ini, dari rumpun thalli alga dibuat
potongan-potongan dengan ukuran tertentu (30-150 gram) untuk dijadikan bibit.
Bibit stek ini ditanam dengan mengikatkannya pada tali-tali nilon di perairan
dengan jarak tertentu atau pada rak apung. Pertumbuhannya dapat dilihat dengan
bertambah besarnya bibit tersebut. Cepat atau lambatnya pertumbuhan tergantung
pada jenis alga dan mutu lingkungan penanaman ( Aslan, 1998 dalam Widayanti,
2008).
Klasifikasi
Alga
Menurut Smith (1955),
alga dibagi menjadi 7 divisi sebagai berikut:
1.
Divisi Chlorophyta dengan 2 kelas yaitu,
kelas Chlorophyceae dan kelas Charophyceae
2.
Divisi Euglenophyta dengan 1 kelas
yaitu, kelas Euglenophyceae
3.
Divisi Pyrophyta dengan 2 kelas yaitu,
kelas Despmaphyceae dan kelas Dynophyceae.
4.
Divisi Chrysophyta dengan 3 kelas yaitu,
kelas Chrysophyceae, kelas Xantophyceae, dan kelas Bacillariophyceae
5.
Divisi Phaeophyta dengan 3 kelas yaitu,
kelas Isogeneratae, kelas Heterogeneratae, dan kelas Cyclosporeae
6.
Divisi Cyanophyta dengan satu kelas
yaitu, kelas Myxophyceae
7.
Divisi Rhodophyta dengan satu kelas
yaitu, kelas Rhodophyceae
Alga-alga
makroskopis yang sebagian besar hidup di air laut termasuk pada divisi
Chlorophyta, Phaeophyta dan Rhodophyta.
1.
Chlorophyta
Divisi
Chlorophyta yang lebih dikenal atau
populer dengan sebutan alga hijau, yaitu kelompok terbesar dari alga yang
terdiri dari lebih kurang 429 marga dan 6600 jenis. Anggotanya 90% hidup di air
tawar, sisanya hidup di air laut dan, beberapa ada yang hidup di air payau.
Alga air tawar dapat dijumpai di mana saja asalkan lembab dan cukup cahaya.
Alga air laut umumnya tumbuh pada perairan yang dangkal sepanjang pantai dan
sering melekat pada substrat yang keras seperti batu dan batu karang.
Menurut
Gupta (1981) dalam Dewi (2006) Chlorophyta
dikenal dengan ciri-ciri yang sangat khas yaitu:
a.
Mempunyai pigmen yang terdapat dalam
kloroplas yang didominasi oleh klorofil
a dan b sehingga menyebabkan alga ini berwarna hijau
b.
Produk asimilasi berupa pati yang dalam
pembentukkannya berhubungan dengan pirenoid
c.
Gamet mempunyai 2 atau 4 flagel tipe whiplash yang sama panjangnya terletak
pada bagian anterior
d.
Reproduksi seksual isogami, anisogami,
dan oogami
e.
Setiap sel mempunyai inti sejati (ada
membran inti)
f.
Dinding sel terdiri atas selulosa
Reproduksi
Chlorophyta dilakukan dengan tiga
cara, yaitu cara vegetatif, aseksual, dan seksual. Reproduksi vegetatif dapat
terjadi dengan patahnya thallus atau pigmen menjadi dua atau lebih, dan setiap
patahan akan tumbuh menjadi individu baru. Reproduksi aseksual dengan zoospore
yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang berfungsi sebagai sporangia. Reproduksi
secara seksual melalui proses plasmogami, kariogami, dan meiosis yang terjadi
secara berurutan. Gamet dibentuk dalam gametangium. Sel telur dihasilkan oleh
oogonium dan anterozoid yang dihasilkaan anteridium.
Ditinjau
dari morfologinya, tumbuhan alga hijau dapat dikelompokkan ke dalam 5 golongan,
yaitu:
a.
Organisme yang uniseluler yang motil dan
non motil
b.
Organisme koloni yang motil dan kokoid
c.
Organisme filamentik yang bercabang dan
tidak bercabang
d.
Organisme seperti membran/ daun
(parenkim)
e.
Organisme sinositik (pipa) (Gupta, 1981)
Sebaran
alga hijau terdapat terutama di daerah litoral bagian atas, khususnya di
belahan bawah atas daerah pasang surut, dan tepatnya pada kedalaman 10 meter
atau lebih, yang habitatnya mendapat penyinaran matahari yang baik. Alga ini
terdapat melimpah di perairan hangat (tropik).
Di
Indonesia tercatat sedikitnya 12 marga alga hijau yang banyak dijumpai di
perairan pantai, beberapa marga-marga alga itu adalah sebagai berikut:
a.
Caulerpa
yang dikenal beberapa penduduk pulau sebagai anggur laut, terdiri dari 15 jenis
dan 5 varietas. Berikut ini disajikan gambar beberapa jenis alga Caulerpa.
Gambar 2.7 Beberapa jenis alga Caulerpa ( Bold dan Wynne, 1980 dalam
Romimohtarto, 2001).
b.
Ulva
mempunyai thallus berbentuk lembaran tipis seperti sla, oleh karenanya
dinamakan sla laut. Ada tiga jenis yang tercatat, satu di antaranya Ulva reticulata. Alga ini biasanya
melekatnya dengan menggunakan alat pelekat berbentuk cakram yang melekat pada
batu atau substrat lain atau pada tabung dari cacing beruas. Tangkai yang
pendek dapat menghubungkan alat ini dengan daun yang tipis dan lebar, 0,1 mm
tebalnya, dan ukurannya tidak teratur. Daun yang lebar mencapai 400 cm2.
Daunnya mempunyai sejumlah perforasi tak teratur dan tebalnya hanya dua sel.
Tumbuhan ini dapat terlepas dari pegangannya yang tersebar di sekitar daerah
pasang surut. Alga ini tumbuh bagus di selat-selat dan perairan teluk yang
tenang. Pada gambar 2.8 berikut ini disajikan gambar Ulva lactuca.
Gambar 2.8 Ulva
lactuca. A) Tumbuhan Ulva, B) Zoospora, dan
C) Irisan memanjang menurut Newton, (1931) dalam Romimohtarto (2001).
c.
Valonia
(V. ventrikosa) mempunyai thallus yang membentuk
gelembung berisi cairan berwarna ungu atau hijau mengkilat, menempel pada
karang mati atau batu karang.
d.
Dictyosphaera
(D. cavernosa) dan jenis-jenis marga ini di Nusa
Tenggara dinamakan bulung yang dimanfaatkan untuk sayuran.
e.
Halimeda
terdiri
dari 18 jenis, marga alga ini berkapur menjadi salah satu penyumbang kapur air
laut. Halimeda tuna terdiri atas
rantai cabang dari potongan tipis berbentuk kipas. Potongan-potongan ini
berkapur, masing-masing 2 cm tengahnya. Yang terbesar dihubungkan satu dengan
yang lainnya oleh sendi-sendi yang tak berkapur. Mereka berada di bawah air
surut rata-rata pada pasang surut bulan-setengah, pada pantai berbatu dan
paparan terumbu, tetapi potongan-potongannya dapat tersapu ke bagian atas pantai
setelah terjadi badai. Halimeda opuntia berbeda
dengan H. tuna karena jenis ini
mempunyai potongan bentuk kipas lebih kecil, berwarna hijau muda, mempunyai
panjang 1 cm dan mempunyai bentuk pinggiran yang kurang teratur. Jenis ini
terdapat di bawah air surut rata-rata pada pasang surut bulan-setengah pada
pantai berbatu dan paparan terumbu. Pada gambar 2.9, disajikan gambar beberapa
jenis alga Halimeda.
f.
Chaetomorpha
mempunyai
thallus atau daunnya berbentuk benang yang menggumpal. Jenis yang diketahui adalah
C. crassa yang sering menjadi gulma
bagi budi daya rumput laut.
g.
Codium
hidup
menempel pada batu atau batu karang.
h.
Udotea
terdapat
atau tumbuh di dasar pasir dan terumbu karang.
Gambar 2.9 Beberapa jenis alga Halimeda (Kadi, 1987 dalam Romimohtarto,
2001).
i.
Tydemania
(T. expeditionis) tumbuh di paparan terumbu karang yang
dangkal dan pada kedalaman 5-30 m di perairan jernih.
j.
Bernetella
(B. nitida) menempel pada karang yang mati dan
pecahan karang di paparan terumbu.
k. Burgenesia (B. forbesii) mempunyai
thallus yang berbentuk kantung silindrik berisi cairan berwarna hijau tua atau
hijau kekuningan, menempel pada batu karang atau tumbuhan air.
l. Neomeris
(N. annulat) tumbuh menempel pada substrat dari karang mati di dasar laut
(Romimohtarto, 2001).
2.
Phaeophyta
Phaeophyta
atau alga coklat umumnya merupakan bentuk yang kompleks dibandingkan dengan
alga lainnya. Jenis-jenis yang uniseluler tidak ditemukan. Tumbuhan ini
memiliki ukuran beberapa millimeter sampai 70 meter. Saprofit maupun gametofit
yang telah dewasa mempunyai bentuk tertentu, mengalami deferensiasi menjadi
bagian yang tegak dan alat pelekat (holdfast).
Dalam
Dewi (2006), karakteristik pada Phaeophyta sebagai berikut.
a.
Pigmentasi
Alga coklat mempunyai klorofil a
dan c, alfa dan beta karoten dan beberapa flavosantin dan leutin. Xantofil
(fukosantin dan violaksantin) dalam jumlah banyak sehingga menyebabkan warna
coklat sampai hijau kecoklatan. Pigmen terletak dalam plastid dengan tilakoid.
b.
Cadangan makanan
Berupa laminarin, manitol, dan lemak.
Pada beberapa jenis mengandung algin dan asam alginate sebagai komponen
penyusun dinding selnya.
c.
Motilitas
Alga coklat tidak ada yang
uniseluler. Sel-sel reproduktif baik zoospora maupun gamet yang mempunuyai
flagella yang umumnya terdapat pada bagian lateral yang tidak sama panjang.
Flagel pada bagian anterior yang lebih panjang memiliki tipe tinsel dan pada
bagian yang posterior lebih pendek memiliki tipe whiplash.
d.
Dinding sel
Dinding sel menghasilkan asam
alginat, banyak terdapat pada tipe-tipe yang disebut “kelp” dan “fukoid”. Asam
alginate memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi. Biasanya digunakan sebagai
stabilizer produk-produk komersial lainnya seperti produk “rumput laut” yang
dapat dimakan.
Alga
coklat banyak ditemukan pada habitat air laut dan hanya tiga jenis yang
terdapat pada air tawar. Yang hidup di air laut terutama terdapat di daerah
yang beriklim dingin dan tidak banyak yang terdapat di daerah tropik. Tumbuhan
baik pada daerah litoral atau daerah pasang surut, tetapi tipe kelp terdapat
pada perairan sublitoral. Jenis-jenis Sargasum
dan Turbinaria terdapat di daerah
tropik dan subtropik.
Smith
(1955) membagi divisi Phaeophyta menjadi 3 kelas sebagai berikut.
a.
Kelas Isogeneratae
Daur hidupnya menunjukkan
pergantian yang isomorf.Contohnya bangsa Ectocarpales,
dan Dictyotales
b.
Kelas Heterogeneratae
Daur hidupnya menunjukkan
pergantian yang heteromorf. Contohnya bangsa Laminariales, dan Desmarestiales.
c.
Kelas Cyclosporae
Tidak menunjukkan adanya pergantian
keturunan, hanya mempunyai keturunan yang diploid saja. Contohnya bangsa
Fucales.
Menurut
Romimohtarto (2001), di Indonesia terdapat delapan marga alga coklat yang
ditemukan yaitu sebagai berikut.
a.
Cystoseira
sp
yang hidup menempel pada batu di daerah rataan terumbu karang dengan alat
pelekatnya yang berbentuk cakram kecil. Alga ini mengelompok bersama-sama
dengan komunitas Sargasum dan Turbinaria. Alat ini memiliki dua atau
tiga sayap longitudinal dengan pinggiran bergerigi. Terdapat kantung udara
kecil di sepanjang thallus. Pada gambar 2.10 disajikan gambar Cystoseira ericoides.
.
Gambar 2.10 Cystoseira ericoides, A. Tumbuhan Cystoseira, B. Kantung udara yang diperbesar, C. Irisan melalui
reseptakel, D. Oogonium, dan E. Anteridium (Newton, 1931 dalam Romimohtarto,
2001).
b.
Dictyopteris
sp yang
hidup melekat pada batu di pinggir luar rataan terumbu, jarang dijumpai.
c.
Dictyota
(D. bartayresiana), tumbuh menempel pada batu karang mati di
daerah rataan terumbu. Warnanya coklat tua dan mempunyai thallus bercabang yang
terbagi dua. Thallus yang pipih dan lebarnya 2 mm, tersusun atas tiga lapis
sel. Lapisan tengah yang terdiri dari sel yang besar diapit oleh dua lapisan
atas dan bawah yang terdiri dari sel yang sangat kecil. Alga ini mempunyai
bagian berbentuk silindrik yang menyerap dan mempunyai alat perekat dalam
bentuk sebundel benang-benang yang bentuknya seperti rambut. Thallusnya
menghasilkan cabang lateral yang dapat lepas untuk membentuk alga baru yang
bebas dalam perkembangbiakan vegetatif. Pada gambar 2.11, disajikan gambar alga
Dictyota dichotoma.
Gambar 2.11 Dictyota dichotoma (Newton, 1931 dalam Romimohtarto, 2001).
d.
Hormophysa
(H. triquesa), hidup menempel pada batu dengan alat
perekat berbentuk cakram kecil. Alga ini hidupnya bercampur dengan Sargasum dan Turbinaria dan hidup pada rataan terumbu.
e.
Hydroclathrus
(H. clatratus), tumbuh melekat pada batu atau pasir di
daerah rataan terumbu dan sebarannya sangat luas di Indonesia.
f.
Padina (P. australis),
sinonimnya P. gymnospora, tumbuh
menempel di batu pada daerah rataan terumbu, baik di tempet terbuka di laut
maupun di tempat terlindung. Padina
commersonii adalah alga coklat yang banyak dijumpai di bawah paras pasang
surut. Alat perlekatannya yang melekat pada batu atau pasir terdiri dari cakram
pipih, biasanya terbagi menjadi cuping-cuping pipih 5-8 cm lebarnya. Tangkai
yang pendek dan pipih menghubungkan alat pelekatnya dengan ujung yang meruncing
dari selusin daun berbentuk kipas atau lebih. Setiap daun mempunyai jari-jari 5
cm, dan pinggirannya berakhir dengan suatu meristem, di tempat itu kerap
terjadi pertumbuhan dan khas menggulung ke dalam untuk perlindungan yang lebih
baik. Setiap daun ditandai oleh satu seri sabuk-sabuk sepusat (konsentrik),
yang merupakan deretan-deretan sel. Daun yang lebih lebar biasanya membelah ke
dalam sepanjang jari-jari. Daunnya berwarna coklat kekuningan, tetapi dapat
kelihatan keabu-abuan disebabkan karena adanya kerak terdiri dari lapisan tipis
kapur pada bagian atasnya. Pada gambar 2.12, disajikan gambar Padina pavonia.
Gambar 2.12 Padina pavonia
g.
Sargasum
terdapat
teramat melimpah mulai dari air surut pada pasang surut setengah ke bawah. Alga
ini hidup pada batu atau bongkahan karang dan dapat terbedol dari substratnya
selama ombak besar menghanyutkannya ke permukaan laut atau terdampar di bagian
atas pantai. Warnanya bermacam-macam dari coklat muda sampai coklat tua. Alat
pelekatnya terdiri dari cakram pipih. Dari cakram ini muncul tungkai yang
pendek silindrik yang tegak. Dari tangkai yang pendek ini muncul poros-poros
silidrik panjang. Masing-masing poros ini dapat mencapai 1 m panjangnya di
daerah bawah litoral dimana Sargasum
hidup. Pada poros yang silindris dengan diameter 3 mm terdapat bentuk-bentuk
seperti daun, kantong udara, dan cabang-cabang perkembangbiakan.
h.
Turbinaria
terdiri dari tiga jenis yang tercatat, T.
connoides, T. decurrens, dan T.ornate.
Mereka mempunyai cabang-cabang silindrik dengan diameter 2-3 mm dan
mempunyai cabang lateral pendek dari 1-1,5 cm panjangnya. Ini berakhir pada
sebuah reseptakel dengan pinggiran bergerigi dan garis tengahnya kira-kira 1
cm. Alga ini terdapat di pantai berbatu dan paparan terumbu.
3.
Rhodophyta
Rhodophyta
memiliki thallus yang bersel banyak (multiseluler), hanya beberapa jenis yang
bersel tunggal. Thallus mempunyai bentuk yang beranekaragam. Sel memiliki
plastida yang mengandung klorofil a, d, dan pigmen fotosintetik lainnya yaitu
xantofil, fikobiliprotein (fikoeritrin dan fikosianin). Jjumlah kedua pigmen
ini sangat banyak sehingga menutupi klorofil dan menyebabkan ganggang ini
berwarna merah. Semua pigmen berada dalam tilakoid kecuali fikobiliprotein yang
terdapat pada bagian permukaan. Pigmen-pigmen ini dapat mengabsorpsi cahaya
energi matahari yang kemudian cahaya itu ditransfer ke klorofil a, sehingga
adanya pigmen ini mempunyai pengaruh langsung dalam proses fotosintesis (Gupta,
1981 dalam Dewi 2006).
Cadangan
makanan berupa tepung floridae, yaitu suatu karbohidrat dalam bentuk
butiran-butiran kecil yang tersimpan dalam sitoplasma dan di luar plastid. Pada
beberapa alga juga terdapat gula floridasida galaktosida dan gliserol.
Dinding
sel terdiri dari selulosa dan polisakarida yang menyerupai lender. Polisakarida
ini adalah agar dan keragenan yang menyusun 70% dari berat kering dinding sel.
Komponen dinding sel ini sangat menarik dan memiliki nilai komersiil yang
sangat tinggi sebagai bahan stabilizer.
Reproduksi
pada jenis primitif secara aseksual, yaitu dengan cara membelah sel atau dengan
spora, sedangkan reproduksi seksualnya belum banyak diketahui. Pada jenis-jenis
yang lebih maju umumnya terdapat reproduksi aseksual dan seksual (Gupta, 1981
dalam Dewi 2006). Sel kelamin jantan dari alga ini tidak berflagel yang disebut
spermatium. Spermatium ini secara pasif terbawa oleh arus air, kemudian melekat
pada alat kelamin betina (karpogonium). Setelah itu inti dari masing-masing sel
kelamin bersatu dan membentuk zigot.
Rhodophyta
mempunyai satu kelas yaitu Rhodophyceae. Kelas ini mempunyai 2 anak kelas,
yaitu anak kelas Bungioidae dan anak
kelas Plorideae (Smith, 1955).
Sebaran alga merah sangat luas, tetapi banyak terdapat di perairan beriklim
sedang. Beberapa jenis alga ini terdapat di daerah sebaran pasang surut, tetapi
pertumbuhan yang subur terdapat di daerah bawah-pasang surut. Di perairan
tropic alga ini umumnya terdapat di daerah bawah-litoral dimana cahaya sangat
kurang. Mereka umumnya berukuran kecil. Sekelompok alga ini ada yang disebut Corallina, yang menyadar kapur dari air laut. Alga ini
terdapat di terumbu karang dan membentuk kerak merah muda pada batu karang dan
batu cadas. Banyak alga ini yang mempunyai nilai ekonomis dan diperdagangkan
yang dikelompokkan sebagai ekspor komoditi.
Di
Indonesia tercatat 17 marga yang terdiri dari 34 jenis. Marga alga tersebut
diantaranya sebagai berikut:
a.
Acanthophora
terdiri dari dua jenis yang tercatat, yakni A.
spicipera dan A. muscoides. Alga
ini hidup menempel pada batu atau benda keras lainnya. Jenis yang pertama
sebarannya di Indonesia sangat luas sedangkan yang kedua sebarannya kurang
meluas dan terdapat di tempat tertentu.
b.
Actinotrichia
(A. fragilis) terdapat di bawah pasang surut dan
menempel pada karang mati. Sebarannya sangat luas terdapat pula di padang
lamun.
c.
Amansia
(A. glomerata) tumbuh melekat pada batu di daerah
terumbu karang dan dapat hidup melimpah di padang lamun.
d.
Amphiroa
(A. fragilissima) tumbuh menempel pada dasar perairan di
rataan pasir atau menempel pada dasar substrat di lain di padang lamun.
Sebarannya sangat luas.
e.
Chondrcoccus
(C. hornemannii) tumbuh melekat pada substrat batu di
ujung luar rataan terumbu yang senantiasa terendam air.
f.
Corallina
belum
diketahui jenisnya. Alga ini tumbuh di bagian luar terumbu yang biasa terkena
ombak langsung. Sebarannya tidak begitu luas.
g.
Euchema
adalah
alga merah yang biasa ditemukan di bawah air surut rata-rata pada pasang surut
bulan-setengah. Alga ini mempunyai thallus yang silindrik berdaging dan kuat
dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat ke samping pada beberapa
jenis. Thalusnya licin, warna alga ini ada yang tidak berwarna merah, tetapi
hanya coklat-kehijauan kotor atau abu-abu dengan bercak merah. Di Indonesia
tercatat empat jenis antara lain E.
denticulatum (E. spinosum), E. edule, E. alvarezii (Kappaphycus alvarezii)
dan E.serra.
h.
Galaxaura
terdiri
dari empat jenis, yakni G. kjelmanii, G.
subfruticulosa, G. subverticillata, dan
G. rugosa. Mereka tumbuh melekat pada substrat batu di rerataan terumbu.
i.
Gelidiella (G. acerosa)
tumbuh menempel pada batu di daerah pasang hsurut atau bawah pasang surut. Alga
ini muncul di permukaan air pada saat air surut dan mengalami kekeringan. Alga
ini digunakan sebagai sumber alga yang diperdagangkan.
j.
Gigartina (G. affinis=Carpopertis affinis)
tumbuh menempel pada batu di pelataran terumbu, terutama di tempat-tempat yang
masih tergenang oleh air pada saat air surut.
k.
Gracilaria
terdiri
dari tujuh jenis, yakni G. arcuata, G.
coronapifolia, G. folifera, G. eucheumioides, G. gigas, G. salicornia, dan G. verrucosa.
l.
Halymenia terdiri dari dua
jenis , yakni H. durvillae dan H. harveyuna. Mereka hidup di luar batu
karang di luar pelataran terumbu karang yang selalu tergenang air.
m.
Hypnea
terdiri
dari yakni H. asperi dan H. servicirnis. Alga ini hidup di
habitat berpasir atau berbatu, ada pula yang bersifat epifit dan penyebarannya
luas.
n.
Laurencia
terdiri
dari tiga jenis yang tercatat, yakni L.
intricata, L.nidifica dan L. obtus. Alga
ini hidup melekat pada batu di daerah terumbu karang.
o.
Rhodimenia
(R. palmata) hidup melekat pada substrat terumbu dan
batu.
p.
Titanopyra
(T. pulchra) dijumpai sangat jarang. Jenis ini
terdapat di perairan Sulawesi.
q.
Porpyra
adalah
alga kosmopolitan. Marga alga ini
terdapat mulai dari perairan tropik sampai daerah subtropik, tetapi persebaran
tegaknya sangat terbatas. Pada umumnya alga ini terdapat di daerah litoral,
hidup di atas batu karang pada pantai yang terbuka serta bersalinitas tinggi.
Meskipun demikian ada pula yang menyukai daerah muara sungai dengan pantai yang
agak terlindung serta salinitas perairan yang relatif rendah, yaitu Porpyra tenera.
DAFTAR PUSTAKA
Ambas, Irfan. 2006. Pelatihan Budidaya Laut (Coremap Fase II Kab. Selayar). Makasar:
Yayasan Mattirotasi. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 23 November 2009
BAPPEDA Kabupaten Buleleng. 2003. Peta Pembagian Wilayah Administrasi
Kecamatan dan Peta Ketinggian Kecamatan. Peta Wilayah. Tidak diterbitkan
Bawa, W. 1996. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian. STKIP Singaraja: Singaraja
Dewi, Puspita. 2006. Keanekaragaman Alga Makroskopis Pada Zone Litoral di Beberapa Pantai
Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng. Tidak diterbitkan
Hill, K. 2001. Smithsonian Marine Station: Enteromorpha spp. Available from: irl_webmaster@si.edu. Diakses pada tanggal 28 Juli 2010
Indriani, Hety dan Sumiarsih, Emi. 1997. Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput
Laut. Jakarta: Penebar Swadaya
Jelantik Swasta, Ida Bagus. 2003. Diktat Ekologi Hewan. Singaraja: IKIP
Negeri Singaraja
Jelantik Swasta, Ida Bagus. 2003. Tinjauan Singkat Tentang Aspek Biologi dan
Ekologi Rumput Laut. Makalah Seminar. Tidak diterbitkan.
Kennish, Michael J. 2001. Practical Handbook of Marine Science.
London: CRC Press
Lunning, Klaus. 1990. Seaweeds: Their Environment, Biogeography, and Ecophysiology.
Canada: John Wiley and Sons, Inc.
McNaughton, S. J. and Larry L Wolf. 1973. General Ecology. Rinehart and Winstons,
Inc.
Nybakken, James W. 1992. Biologi Laut: Suatu Pendekatan Ekologis. Jakarta: Gramedia
Odum, Eugene P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gajah Mada University Prees
Prabowo, Yudi. 2007. Budidaya Rumput Laut. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 23 November 2009
Pronawa, Ida Ketut. 2008. Studi Tentang Keragaman dan Kelimpahan
plankton dan Nekton Dalam Kaitannya dengan Karakteristik Perairan di Muara
Sungai Tukad Saba dan Tukad Bengkala. Tidak diterbitkan
Romimohtarto, Kasijan dan Sri Juwana. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan Tentang Biota
Laut. Jakarta: Djambatan
Rusnani, Anita. 2006. Inventarisasi Banteng (Bos Javanicus d’Alton) di area Merumput Sadengan Taman Nasional Alas Purwo Banyuwangi. Tidak
diterbitkan
Setiawati. 2000. Analisis Komposisi dan Keanekaragaman Jenis Lumut Pada Tembok
Penyengker Pura Penulisan di Kabupaten Bangli. Tidak diterbitkan
Smith, G. M. 1955. Criptogamic Botanie Algae and Fungi. New Delhi: Tata Mc. Grraw Hill
Publising Company. Ltd
Sutomo, Budi. 2006. Rumput Laut Bahan Pangan Lezat Multi Khasiat. Available from: www.google.com. Diakses pada tanggal 3 Desember 2009
Widana, I Made. 2006. Keanekaragaman dan Kemelimpahan Bintang Mengular (Ophiiuroidea) di
Daerah Pasang Surut Pantai Lingga. Tidak diterbitkan
Widayanti, Ni Luh Lisna. 2008. Analisis Potensi Pantai Gondol di Kecamatan
Gerokgak untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut Ditinjau dari Karakteristik
Perairannya. Tidak diterbitkan.
Yesinta, Stephanie. 2009. Ekosistem Pesisir. Availlable from: www.dkp.go.id. Diakses pada tanggal 3 Desember 2009.
kurang
ReplyDelete